Suparlan *)
The effective teacher is one
who is able to bring about intended learning outcomes
(James M. Cooper)
Salah satu dari enam agenda seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu dari
Departemen Pendidikan Nasional adalah ’mencanangkan guru sebagai profesi”.
Seorang peserta diklat calon instruktur matematika sekolah dasar yang sedang
mengikuti kegiatan diklat di Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG)
Matematika Yogyakarta memberikan komentar positif bahwa agenda itu amat
fokus dan mendasar. Sementara beberapa peserta lainnya memberikan respon
yang netral-netral saya, yakni ’tunggu dan lihat’ atau ‘wait and see’,
sambil menaruh harapan yang besar agar agenda ini memiliki dampak yang amat
positif bagi upaya peningkatan kompetensi, perlindungan dan kesejahteraan
guru. Secara umum, banyak guru yang menaruh harapan yang besar terhadap
pelaksanaan agenda tersebut, minimal sebagai salah satu wujud kepedulian
terhadap nasib guru.
Tulisan singkat ini akan menelaah makna yang tersurat dalam pengertian ’guru
sebagai profesi’, ciri-ciri guru sebagai profesi, dan standar kompetensi
yang harus dimilikinya.
Guru, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan
Seorang widyaiswara senior di Pusdiklat Diknas secara terus terang
menyatakan kekecewaannya terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lantaran dalam UU SPN itu hanya memuat dua patah kata
guru, yakni pada Pasal 39 ayat 3 dan 4. Hal tersebut terjadi karena
pengertian guru diperluas menjadi ’pendidik’ yang dibedakan secara dikotomis
dengan ’tenaga kependidikan’, sebagaimana tertuang secara eksplisit dalam
Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan. ’Pendidik’ dijelaskan pada
ayat 2, yakni: ’Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi’. Dalam ayat 3 dijelaskan lebih lanjut bahwa ’Pendidik yang
mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru, dan
pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen’.
Sementara itu, istilah ’tenaga kependidikan’ dijelaskan dalam Pasal 39 ayat
1 bahwa ’Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang
proses pendidikan pada satuan pendidikan’. Termasuk dalam kategori tenaga
kependidikan dalam hal ini adalah kepala sekolah, pengawas, dan tenaga lain
yang menunjang proses pembelajaran di sekolah.
Yang menjadi persoalan terminologis dalam hal ini adalah karena guru dikenal
dengan empat fungsi sekaligus dalam proses pembelajaran, yakni mengajar,
mendidik, melatih, dan membimbing. Dengan demikian, seharusnya pengertian
guru lebih luas dibandingkan dengan pendidik. Bahkan dosen di perguruan
tinggi pun sebenarnya juga disebut guru. Bahkan perguruan tinggi juga
menggunakan istilah Guru Besar. Selain itu, guru pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah pun memiliki kompetensi untuk melakukan penelitian
tindakan kelas (classroom action research) dan menjalin hubungan dan kerja
sama dengan orangtua siswa dan masyarakat yang tergabung dalam Komite
Sekolah.
Lepas dari persoalan terminologis tersebut, apakah ia akan tetap disebut
guru ataukah pendidik, kedua-duanya mengemban tugas mulia sebagai tenaga
profesi, yang memiliki kaidah-kaidah profesional sebagaimana profesi lain
seperti dokter, akuntan, jaksa, hakim, dan sebagainya.
Profesi, Profesional, dan Profesionalisme
Dedi Supriadi (alm) dalam bukunya bertajuk ”Mengangkat Citra dan Martabat
Guru” telah menjelaskan secara sederhana ketiga istilah tersebut. Profesi
menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung
jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu
profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak
dilatih atau disiapkan untuk itu.
Sementara profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada
penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan
tuntutan profesinya. Misalnya, ’pekerjaan itu dilaksanakan secara
profesional’. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu,
misalnya ’dia seorang profesional’.
Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau performance
seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi. Ada yang
profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah. Menurut Dedi
Supriadi, profesionalisme menuntut tiga prinsip utama, yakni ’well educated,
well trained, well paid’ atau memperoleh pendidikan yang cukup, mendapatkan
pelatihan yang memadai, dan menerima gaji yang memadai. Dengan kata lain
profesionalisme menuntut pendidikan yang tinggi, kesempatan memperoleh
pelatihan yang cukup, dan akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yang
memadai.
Ciri-ciri Profesi
Dalam buku yang sama, Dedi Supriadi menjelaskan secara sederhana tentang
ciri-ciri atau karakteristik suatu profesi. Pertama, profesi itu memiliki
fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Sebagai contoh, dokter
disebut profesi karena memiliki fungsi dan signifikasi sosial untuk
memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat. Demikian juga guru, memberikan
layanan pendidikan bagi anak-anak generasi muda bangsa. Kedua, profesi
menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan
pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang akuntabel
atau dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, profesi didukung oleh suatu
disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode
etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi
yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut. Pengawasan
terhadap penegakan kode etik dilakukan oleh organisasi profesi yang
bersangkutan. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang
diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau
kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.
Jika kelima cirri atau karakteristik profesi tersebut diterapkan kepada
pekerjaan guru, maka tampak jelas bahwa guru memiliki kelima karakteristik
tersebut, meskipun ada beberapa karakteristik yang belum sepenuhnya
terpenuhi. Sebagai contoh, guru memiliki karakteristik pertama yang demikian
jelas, yakni memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat.
Karakteristik kedua, untuk dapat menjadi guru yang profesional, guru juga
harus memiliki kompetensi yang tinggi. Untuk dapat memiliki kompetensi
seperti itu maka guru harus memiliki disiplin ilmu yang diperoleh dari
lembaga pendidikan, baik preservice education maupun inservice training yang
akuntabel. Disiplin ilmu itu antara lain adalah pedagogi (membimbing anak).
Inilah karakteristik yang ketiga. Karakteristik keempat memang kedodoran di
Indonesia, yakni kode etik dan penegakan kode etik. PGRI memang telah
menyusun kode etik Guru Indonesia, tetapi penegakannya memang belum
berjalan. PGRI di masa lalu terlalu dekat dengan politik, dan kurang
bergerak sebagai organisasi profesi. Penulis pernah mengikuti kegiatan
konvensi NCSS (National Council for Social Studies) di Amerika Serikat.
Organisasi ini memang organisasi profesi murni yang bidang kegiatannya
memang menyangkut urusan profesi. Organisasi ini punya peranan penting dalam
memberikan masukan penyempurnaan kurikulum social studies (IPS), inovasi
tentang strategi dan metode pembelajaran IPS, media dan alat peraga, dan
hal-hal yang terkait dengan profesi guru IPS. Apabila PGRI dalam menjadi
induk bagi organisasi-organisasi guru mata pelajaran di Indonesia, alangkah
idealnya. Ciri profesi yang kelima adalah adanya imbalan finansial dan
material yang memadai. Dalam hal ini, gaji guru di Indonesia pada saat ini
memang telah lebih baik jika dibandingkan dengan gaji guru pada tahun 60-an,
yang pada ketika itu gaji profesi dalam bidang keuangan menjadikan iri bagi
profesi lainnya. Gaji guru di Amerika Serikat pun pernah memprihatinkan.
Pada tahun 1864, guru di Illionis digambarkan dengan citra yang
memprihatinkan dilihat dari kesejahterannya, yakni ’has little brain and
less money’ atau ’punya otak kosong dan kantong melompong’. Dewasa ini,
gambaran guru di Amerika Serikat tidaklah demikian lagi, karena kebanyakan
guru di Amerika rata-rata merupakan tamatan perguruan tinggi, yang tidak
hanya memiliki kemampuan intelektual tetapi juga ekonomi dan sosial. Jikalau
ingin pendidikan maju, dan para guru dapat memfokuskan diri dalam bidang
profesinya sebagai guru --- bukan guru yang biasa di luar ---, maka gaji
guru tidak boleh tidak memang harus memadai, setara dengan profesi lainnya,
jika tidak bisa lebih tinggi. Dalam hal pemberian penghargaan kepada guru,
aspek kesejahteraan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk penghargaan
secara materi, di samping bentuk penghargaan nonmateri, seperti pemberian
piagam penghargaan berdasarkan prestasi kerja guru yang dapat dibanggakan.
Adanya hyme guru memang dapat menjadi model penghargaan terhadap guru,
meskipun ada orang yang berpendapat bahwa adanya hymne guru justru dipandang
sebagai bentuk penghargaan semu.
Kompetensi Guru
Salah satu ciri sebagai profesi, guru harus memiliki kompetensi, sebagaimana
dituntut oleh disiplin ilmu pendidikan (pedagogi) yang harus dikuasainya.
Dalam hal kompetensi ini, Direktorat Tenaga Kependidikan telah memberikan
definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan
pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi
sebagai guru.
Pada tahun 70-an, Direktorat Tenaga Teknis dan Pendidikan Guru (Dikgutentis)
merumuskan sepuluh kompetensi guru, yakni: (1) memiliki kerpibadian sebagai
guru, (2) menguasai landasan kependidikan, (3) menguasai bahan pelajaran,
(4) Menyusun program pengajaran, (5) melaksanakan proses belajar mengajar,
(6) melaksanakan proses penilaian pendidikan, (7) melaksanakan bimbingan,
(8) melaksanakan administrasi sekolah, (9) menjalin kerja sama dan interaksi
dengan guru sejawat dan masyarakat, (10) melaksanakan penelitian sederhana.
Pada tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan (nama baru Dikgutentis)
telah mengeluarkan Standar Kompetensi Guru (SKG), yang terdiri atas tiga
komponen yang saling kait mengait, yaitu (1) pengelolaan pembelajaran, (2)
pengembangan potensi, dan (3) penguasaan akademik, yang dibungkus oleh aspek
sikap dan kepribadian sebagai guru. Ketiga komponen kompetensi tersebut
dijabarkan menjadi tujuh kompetensi dsasar, yaitu (1.1) penyusunan rencana
pembelajaran, (1.2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (1.3) peniliaian
prestasi belajar peserta didik, (1.4) pelaksanaan tindak lanjut hasil
penilaian prestasi belajar peserta didik, (2) pengembangan profesi, (3.1)
pemahaman wawasan kependidikan, dan (3.2) penguasaan bahan kajian akademik
(sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan). Ketujuh kompetensi dasar guru
tersebut dapat diukur dengan seperangkat indikator yang telah ditetapkan.
Sebagai perbandingan, Australia Barat dikenal memiliki ’Competency Framework
for Teachers’. Kompetensi standar di Australia Barat ini meliputi lima
dimensi, yakni; (1) facilitating student learning, (2) assessing student
learning outcomes, (3) engaging in professional learning, (4) participating
to curriculum and program initiatives in outcome focused environment, dan
(5) forming partnerships within the school community. Dengan kata lain, lima
bidang kompetensi dasar guru di Australia Barat adalah (1) memfasilitasi
pembelajaran siswa, (2) menilai hasil belajar siswa, (3) melibatkan dalam
pembelajaran profesional, (4) berperan serta untuk pengembangan program dan
kurikulum dalam lingkungan yang berfokus kepada hasil belajar, (5) membangun
kebersamaan dalam masyarakat sekolah. Lima dimensi tersebut memiliki
indikator yang berbeda untuk tiga jenjang guru, yakni phase 1 (level 1),
phase 2 (level 2), dan phase 3 (level 3).
Jika dibandingkan dengan lima dimensi kompetensi di Australia Barat
tersebut, maka tampaklah bahwa sepuluh kompetensi dasar menurut Dikgutentis
agaknya jauh lebih lengkap, karena sudah mencakup kompetensi membangun
kerjasama dengan sejawat dan masyarakat. Bahkan mencakup kemampuan
mengadakan penelitian sederhana, misalnya mengadakan penelitian tindakan
kelas atau classroom action research. Dalam hal ini, tujuh kompetensi dasar
menurut Dit Tendik belum mencakup kompetensi membangun kerja sama dengan
sejawat dan masyarakat.
Simpulan
Posisi guru sebagai salah satu profesi memang harus diakui dalam kehidupan
masyarakat. Guru harus diakui sebagai profesi yang sejajar sama tinggi dan
duduk sama rendah dengan profesi-profesi lainnya, seperti dokter, hakim,
jaksa, akuntan, desainer interior, arsitektur, dan masih banyak yang
lainnya.
Sebagai profesi, guru memenuhi kelima ciri atau karakteristik yang melekat
pada guru, yaitu; (1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi
masyarakat, dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (2) menuntut keterampilan
tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, (3)
memiliki kompetensi yang didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a
systematic body of knowledge), (4) memiliki kode etik yang dijadikan sebagai
satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap
pelanggar kode etik tersebut, (5) sebagai konsekuensi dari layanan dan
prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara
perorangan atau kelompok berhak memperoleh imbalan finansial atau material.
Salah satu ciri guru sebagai profesi yang amat penting adalah guru harus
memiliki kemampuan sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Jika dibandingkan dengan competency framework for teachers di Australia
Barat, sepuluh kompetensi guru menurut Dikgutentis sebenarnya lebih lengkap,
karena terdapat kompetensi membangun kerjasama dengan sejawat dan
masyarakat, serta mengadakan penelitian sederhana, yang kedua kompetensi
tersebut tidak ada dalam tujuh kompetensi dasar guru yang diterbitkan oleh
Direktorat Tenaga Kependidikan.
Pencanangan guru sebagai profesi sebagai salah satu agenda seratus hari
Kabinet Indonesia Bersatu memang amat fokus dan mendasar. Yang lebih dari
hanya sekedar pencanangan adalah praktiknya, yakni implikasi dan konsekuensi
dari pencanangan itu yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat guru
di Indonesia, misalnya lahirnya UU Guru, sertifikasi guru, uji kompetensi
guru, dan last but not least adalah gaji guru. Insyaallah.
Bahan Pustaka:
Dedi Supriadi (Editor). 2003. Guru Di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan
Perjuangan Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakata: Direktorat
Tenaga Kependidikan.
Dedi Supriadi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa
Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar.
Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama.
Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah
Menengah Atas.
Education Department of Western Australia. Competency Framework for
Teachers.
Suparlan. 1994. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Hikayat: Yogyakarta.
---------------------
*) Kepala Bidang Pelayanan Teknis, Pusat Pengembangan Penataran Guru
Matematika Yogyakarta. Alumni S2 University of Houston, Texas.
|